fbweb.bakisah.com Open in urlscan Pro
23.48.96.219  Public Scan

URL: https://fbweb.bakisah.com/19916414-fb_contact-idp65_2-0920-1-core1.html?adid={{ad.id}}&char=331118&accid=3769445729958501&...
Submission: On November 05 via api from AU — Scanned from AU

Form analysis 0 forms found in the DOM

Text Content

KEMBALINYA MARSHA YANG TERCINTA


Bab 1 Diusir dari Keluarga "Marsha, selama bertahun-tahun membesarkanmu, kami
tidak pernah membayangkan kamu bisa berbuat sekejam itu. Rumah ini tidak bisa
lagi menerima kehadiranmu. Kamu harus segera pergi." Ucap wanita yang tampak
menjulang di hadapan Marsha Candhika, tatapannya sarat dengan penghinaan dan
rasa dingin yang pahit, pakaian elegannya sangat kontras dengan kekasaran
kata-katanya. "Ibu, jangan, itu hanya sebuah kecelakaan. Aku kehilangan pijakan
dan jatuh sendiri dari tangga. Ini bukan salah Kak Marsha," ucap seorang gadis
muda dari tempat duduknya di sofa. Gadis itu memiliki wajah yang serupa dengan
wanita di hadapannya, dan dia dengan mata berkaca-kaca. Setengah jam yang lalu,
Jenni Candhika, putri kandung Keluarga Candhika, mengalami kecelakaan di tangga.
Saat itu, Marsha sedang sendirian di lantai atas. Semua orang percaya bahwa
Marsha telah mendorong Jenni... Kini, tatapan yang dilontarkan Keluarga Candhika
kepada Marsha dipenuhi dengan kebencian dan rasa jijik, sangat kontras dengan
sikap mereka seminggu sebelumnya, saat mereka menyatakan keengganan mereka untuk
berpisah dengannya. Marsha menatap lantai, sekilas bayangan ironi melintas di
matanya. Dahulu, Marsha adalah anak perempuan satu-satunya dari Keluarga
Candhika. Meskipun dia tidak pernah menikmati kasih sayang orang tua, dia tidak
pernah kekurangan, karena kebutuhan dasarnya selalu terpenuhi. Namun, semua itu
berubah ketika Jefri Candhika, yang dia kenal sebagai ayahnya, mengalami
kecelakaan parah yang mengharuskannya melakukan transfusi d*rah. Tes selanjutnya
mengungkap kebenaran yang mengejutkan, Marsha bukanlah anak kandungnya. Jefri
kemudian memanfaatkan jaringannya yang luas untuk mengungkap keberadaan anak
kandungnya, Jenni. Keluarga Candhika adalah keluarga yang bergengsi di Geno, dan
berita seperti ini secara alami menyebar dengan cepat. Untuk mengelola narasi
publik dan menjaga reputasi mereka yang terhormat, mereka menyatakan komitmen
yang tidak tergoyahkan terhadap Marsha, gadis yang mereka besarkan, menegaskan
niat mereka untuk memperlakukannya sebagai anak mereka sendiri untuk sementara
waktu sebelum dia kembali ke keluarga kandungnya. Namun, di balik pintu
tertutup, rencana mereka sangat berbeda. Begitu pandangan publik teralih ke
tempat lain, mereka berniat untuk diam-diam mengirim Marsha pergi. Setelah
kedatangan Jenni, Keluarga Candhika menyalahkan Marsha atas penderitaan Jenni
selama bertahun-tahun, memindahkan Marsha dari kamarnya ke ruang penyimpanan,
dan menurunkan statusnya secara drastis. Dia ditugaskan untuk melakukan
pekerjaan kasar, dengan status jauh di bawah pembantu rumah tangga. Namun, Jenni
masih ingin Marsha pergi dari sana. Dia telah menyusun beberapa rencana jahat
terhadap Marsha, tetapi orang tuanya menutup mata, diam-diam menutupi rasa jijik
mereka terhadap Marsha. Kesengsaraan ini melucuti segala ilusi yang dimiliki
Marsha tentang mantan keluarganya, memicu tekadnya untuk menghadapi
ketidakadilan yang dipaksakan padanya. Ketika ketegangan mencapai titik didih,
dia menghadap Jenni, suaranya tegas saat dia berkata, "Aku akan pergi, tapi
tidak sebelum meluruskan masalah ini. Aku tidak mau menanggung kesalahanmu lagi,
Jenni!" Ketenangan Jenni goyah di bawah intensitas tatapan dingin Marsha,
tubuhnya sedikit bergetar. Apakah ini Marsha yang selalu tunduk dan patuh
padanya? Kilatan gelap melintas di mata Jenni. Dialah pewaris sah dari aset
Keluarga Candhika, bukan pencuri ini, Marsha, yang telah hidup dalam kemewahan
yang tidak layak didapatkannya. Dia harus mengusir penipu ini! "Kak Marsha, aku
tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan." Suara Jenni terdengar seperti
kebingungan. "Sejak aku merebut kembali tempatku yang sah dan menerima kasih
sayang yang menjadi hakku dari orang tua kita, aku bisa merasakan
ketidakpuasanmu. Terlepas dari tindakanmu, aku tetap toleran. Tapi kakiku ...
bagaimana bisa kamu setega ini? Menari adalah kegemaranku, ekspresi jiwaku.
Seandainya aku tahu kamu sangat mendambakan tempat di kompetisi nasional, aku
tidak akan menentangnya." Sindirannya jelas: Marsha telah menyabotase dirinya
karena iri. Tatapan ibu Jenni, Puspa Cendana, menegang saat mendengar kata-kata
Jenni, suaranya terdengar menghina. "Jenni, kamu memiliki bakat luar biasa yang
tidak akan pernah bisa disamai oleh Marsha. Kamu berhak mendapatkan tempat dalam
kompetisi itu. Dan kamu, Marsha!" Dia menoleh tajam ke arah Marsha, dan
menambahkan, "Kemasi barang-barangmu dan segera pergi dari sini!" Ekspresi
Marsha yang biasanya muram tampaknya hanya menambah rasa jijiknya. Sementara
itu, Jenni, anak perempuan yang penurut dan berbakat, bersinar terang di
matanya, seorang anggota Keluarga Candhika sejati. Di tengah-tengah drama yang
sedang berlangsung, Jefri akhirnya memecah kebisuannya, suaranya berat dengan
kekecewaan. "Marsha, kesepakatan kita adalah untuk mempertahankanmu sampai
sorotan publik berkurang, tapi di sinilah kita, menghadapi kebencianmu yang
mendalam terhadap Jenni. Kami tidak punya pilihan lain selain mengembalikanmu ke
keluarga aslimu hari ini." Mata Jenni berbinar-binar penuh kemenangan saat
ayahnya mengumumkan kepergian Marsha yang akan segera terjadi. Sebaliknya, wajah
Marsha tetap menjadi topeng yang tidak terbaca saat dia menaiki tangga untuk
mengumpulkan barang-barangnya. Keberadaannya yang lama di lantai atas
menimbulkan sekelebat kecemasan dalam diri Jenni. "Bagaimana jika dia mencoba
membawa semuanya?" Bagaimanapun juga, semua barang berharga di rumah itu adalah
miliknya, bagaimana mungkin dia membiarkan seorang penipu pergi dengan membawa
sebagian dari hartanya? Akhirnya, Marsha muncul kembali, menuruni tangga dengan
perlahan, gerakannya sangat hati-hati. Dia membawa sebuah tas hitam kecil dan
sederhana. Saat tatapannya menyapu ruang tamu dengan dingin, hal itu membuat
Jefri gelisah dan mengalihkan pandangannya. Alis Puspa berkerut saat melihat
barang bawaan Marsha yang sangat minim. "Hanya itu yang kamu bawa? Apa yang ada
di dalam sana? Tunjukkan padaku," tuntutnya dengan nada curiga. Namun, Jefri
mengangkat tangan untuk menghentikan interogasi istrinya. "Biarkan saja dia."
Mungkin itu hanya kartu bank yang diberikan padanya, yang hanya menyisakan dua
ratus juta rupiah. Tanpa ragu, Marsha meletakkan tasnya di atas meja dengan
ekspresi tenang. "Periksalah jika perlu." Puspa, yang tidak dapat menutupi
ketidakpercayaannya, mencemooh. "Mungkin dia telah mengemas sesuatu yang
berharga," gumamnya sambil membuka ritsleting tas Marsha. Mengintip ke dalam,
dia tidak menemukan apa-apa selain sebuah buku catatan, beberapa biji-bijian,
dan setumpuk kecil uang tunai, sama sekali bukan barang berharga yang
ditakutkannya. Puspa, yang wajahnya memerah karena malu atas tuduhan tak
berdasar itu, menegakkan tubuh. "Aku akan membiarkan sopir mengantarmu ke sana,"
ucapnya dengan tegas. Jefri, dengan beban situasi yang membebani dirinya,
merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu. "Marsha, ketika kamu pulang ke
rumah orang tuamu, dengarkan mereka. Memang benar, mereka adalah petani ... tapi
mereka adalah orang-orang yang baik dan sederhana. Kamu harus membantu mereka."
Marsha menatap kartu yang disodorkan dengan matanya yang indah, ekspresinya
tenang. "Setiap orang memiliki takdirnya masing-masing," jawabnya pelan, sambil
mendorong kartu itu kembali ke arah Jefri. "Tapi sebelum aku pergi, perlu ada
kejelasan. Jenni, bagaimana kamu bisa jatuh dari tangga itu? Ini adalah
kesempatan terakhirmu untuk mengatakan yang sebenarnya." Jenni mendidih di dalam
hati, geram dengan ketenangan Marsha, yang tampaknya mengangkat derajatnya di
atas semua orang, terlepas dari asal-usulnya yang sederhana. Marsha bukan
berasal dari keluarga kaya! Dia hanyalah putri dari dua orang petani! "Kak
Marsha, apa maksudmu? Kamu ingin bilang bahwa aku menjatuhkan diriku sendiri
dari tangga?" Jenni membalas. "Kakiku adalah hidupku, kakiku sangat penting
untuk menari. Kenapa aku harus membuat kakiku terluka?" Saat berbicara, emosi
Jenni memuncak, dan dia berpura-pura menangis di dalam pelukan Puspa. Tiba-tiba
Jenni secara naluriah melompat berdiri karena vas yang pecah. Keheningan
menyelimuti ruangan saat semua orang, termasuk Puspa dan Jefri, mengalihkan
pandangan kaget ke arahnya. Mereka semua terkejut melihat Jenni yang mendadak
lincah, bukankah dia bilang dia tidak bisa berdiri karena cederanya?

Bab 2 Orang Terkaya di Geno Menyadari kesalahannya, Jenni ambruk ke sofa sambil
memegangi kakinya dengan ekspresi sakit yang dilebih-lebihkan. "Ah, kakiku!
Kakiku sakit sekali!" Tanggapan Jefri bukanlah kemarahan, melainkan rasa
bersalah yang ditujukan pada Marsha. "Marsha, harap mengerti, adikmu masih
sangat muda. Jangan menyalahkannya..." Marsha sudah sering mendengar alasan ini.
"Tentu saja, aku tidak akan membalas jika seekor anjing menggigitku. Lagi pula,
anjing mencontoh perilaku seperti itu dari pemiliknya, bukan?" Dengan cibiran
terakhir yang membelah udara tegang, Marsha memanggul tasnya yang sederhana dan
melangkah menuju pintu, langkahnya tegas dan tidak tergoyahkan. Dia tidak
menoleh ke belakang ke arah keluarga yang ditinggalkannya. Ketiga orang yang dia
tinggalkan di belakangnya mendidih dalam kemarahan. Di luar, sang sopir
menunggu, tidak menyadari kekacauan yang terjadi di dalam rumah Keluarga
Candhika. Sejak kembalinya Jenni, rasa hormat pada Marsha dari para staf rumah
tangga telah berkurang secara signifikan, bahkan sang sopir tidak memberikan
sapaan yang biasa dilakukan saat dia mendekat. Tanpa menghiraukan kehadirannya,
Marsha melangkah melewatinya, postur tubuhnya tegap dengan tekad kuat. Sopir
itu, yang mengejarnya dengan sedikit desakan dalam sertiap langkahnya, berseru,
"Marsha, aku telah diminta untuk mengantarmu ke tempat tujuan." Marsha berhenti,
berbalik sedikit untuk menyampaikan tanggapannya dengan nada dingin, "Tidak
perlu. Mulai saat ini, aku tidak ingin berurusan dengan Keluarga Candhika."
Dengan kata-kata terakhir itu, dia memanggil taksi dan memberi tahu sopir taksi
alamat yang sebelumnya dikirim Jefri ke ponselnya. Tujuannya adalah sebuah desa
yang sederhana dan kumuh, jauh dari kemewahan yang selama ini dia kenal.
Setibanya di sana, dia melihat kondisi rumah orang tua kandungnya yang sudah
tidak terawat, dengan udara yang dipenuhi tangisan teredam yang menarik hatinya.
Saat melangkah masuk ke dalam, dia melihat banyak orang. Sebuah kontras yang
mencolok muncul dengan sendirinya: seorang pria dengan setelan jas yang bersih
dan elegan, dikelilingi oleh para pengawal, berdiri di depan pasangan yang
sedang menangis dan mengenakan pakaian petani yang sederhana. Saat Marsha
mencerna pemandangan itu, pria itu berbalik, matanya dipenuhi dengan kemerahan
dan ketidakpercayaan. Dia bergegas menghampirinya, dengan tangan terbuka lebar.
"Putriku, ini benar-benar kamu! Aku tidak percaya bahwa kamu benar-benar hidup!"
Suara pria jangkung dan gagah itu pecah karena terharu. Marsha berdiri dengan
bingung. Siapa pria ini dan kenapa dia bersikap seperti itu? Marsha menyerap
tatapan berkaca-kaca dari pasangan petani di hadapannya. Suaranya yang bergetar
karena kebingungan akhirnya memecah keheningan. "Ibu, Ayah, apa yang terjadi?"
Petani laki-laki menghela napas panjang, suaranya lelah karena beban kebenaran
yang tak terkatakan. "Marsha, kami bukan orang tua kandungmu. Jenni adalah anak
sah Keluarga Candhika, tapi kamu ... kamu bukan anak kami. Bayi kami lahir dalam
keadaan mati." Dia berhenti, memberi isyarat ke arah pria berpakaian rapi itu.
"Pria ini adalah ayah kandungmu." Mata Marsha berkedip-kedip ke arah orang asing
itu, memperhatikan kesamaan yang tak terbantahkan dalam fitur-fitur wajah
mereka. Pria itu mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya, tangannya sedikit
gemetar. "Marsha, saat pertama kali melihatmu di rumah sakit, ada sesuatu
tentang dirimu yang menarik perhatianku, meski kemudian aku menepisnya," jelas
pria itu, suaranya tercekat oleh emosi. "Setelah mendengar tentang pertemuan
kembali Keluarga Candhika dengan putri kandung mereka, aku harus tahu apakah
mungkin, telah terjadi kesalahan. Tes paternitas ini mengonfirmasi kecurigaanku,
kamu memang putriku." Setelah menerima laporan tersebut, Marsha melihat bukti
yang tidak terbantahkan, hitam di atas putih. Bahkan, tanpa tes itu pun, wajah
mereka yang mirip sudah cukup jelas. Tanggapan Marsha adalah keheningan yang
dipenuhi dengan pikiran yang bergejolak. Pengungkapan ini, sentuhan baru dalam
narasinya yang sudah kompleks, membuatnya kewalahan. Pria itu melanjutkan, "Aku
tahu, hatimu pasti sulit menerima. Tapi inilah kebenarannya. Pada malam kamu
dilahirkan, ada kesalahan tragis di rumah sakit. Karena kelalaian seorang
perawat, hidup tiga keluarga tanpa disadari telah saling terkait. Anak pasangan
ini dinyatakan lahir dalam keadaan mati dan secara keliru diberikan pada kami,
sementara kamu berakhir dengan Keluarga Candhika, dan Jenni dibawa ke sini."
"Ibumu dan aku sangat terpukul, berpikir kami telah kehilanganmu," tambahnya,
matanya berkaca-kaca. "Kamu tidak tahu betapa besar pengaruhnya hal ini terhadap
ibumu. Dia menunggu dengan cemas di hotel, berharap akhirnya bisa bertemu
denganmu." Terharu dengan ketulusannya, Marsha mengangguk perlahan, tatapannya
beralih kembali ke para petani. Suara pria berjas itu melembut saat dia
berjanji, "Ini semua adalah kecelakaan. Mereka juga adalah korban dalam hal ini.
Aku berniat untuk menawarkan mereka kompensasi atas kerugian mereka." Petani
laki-laki itu melambaikan tangannya dengan tegas, suaranya tegas. "Kami tidak
butuh kompensasi, mengetahui kebenarannya saja sudah cukup bagi kami." Suara
petani itu mengandung nada kelelahan yang bercampur dengan kekecewaan yang halus
saat dia berbicara. Hubungannya dengan Jenni, anak perempuan yang dia dan
istrinya besarkan seperti anak mereka sendiri, memburuk setelah Jenni bertemu
kembali dengan keluarga kandungnya, gadis itu langsung menghentikan semua
komunikasi dengan mereka. "Kalian harus pulang sekarang. Jarang sekali sebuah
keluarga menemukan jalan untuk kembali pada satu sama lain. Jangan buang-buang
waktu berlama-lama di sini," ucapnya, ekspresinya bercampur aduk antara
kesedihan dan ketidakpedulian ketika dia membimbing Marsha dan pria berjas itu
ke pintu. Marsha mengikuti pria berjas itu menuju sebuah mobil Rolls-Royce
berkilau yang diparkir di tepi jalan. Kemewahan kendaraan itu sangat kontras
dengan rumah sederhana yang baru saja dia tinggalkan. "Marsha, aku Galuh Julman,
ayahmu. Mulai saat ini, aku di sini untukmu, apa pun yang kamu butuhkan, jangan
ragu untuk bertanya," ucap pria berjas itu, suaranya lembut tetapi tegas. Marsha
perlahan-lahan tersadar, Galuh Julman bukan hanya orang kaya, dia adalah CEO
Grup Julman, orang terkaya di Geno. Implikasi dari garis keturunan yang baru dia
ketahui ini mulai meresap, terasa berat dan mendalam. Marsha mengangguk
perlahan. Hotel Empat Musim adalah hotel termewah di Geno. Jenni, yang
mengenakan gaun Chanel yang melambai-lambai, tampak anggun saat memasuki lobi
megah bersama kedua orang tuanya. Acara ini sangat penting, Puspa baru saja
mengetahui bahwa Linda Julman, wakil ketua Asosiasi Dansa dan juri untuk
kompetisi nasional, sedang berada di kota ini. Puspa dengan cepat melihat
peluangnya, berada di bawah bimbingan Linda dapat membuat Jenni memenangkan
kejuaraan. Dengan pemikiran ini, dia meminta Jenni untuk segera mengenakan
pakaian terbaiknya dan bergegas ke hotel. Namun, setibanya di sana, sebuah
kejutan telah menanti mereka. Di seberang lobi, Marsha berdiri dengan pakaian
sederhana, sebuah kaos dan celana jins, tetapi dia bersikap dengan penuh
keanggunan yang tampak menarik perhatian. Di sampingnya ada seorang pria berjas,
kehadirannya sangat mencolok, meski wajahnya tidak terlihat jelas oleh Puspa.
"Marsha? Apa yang dia lakukan di sini?" Puspa bergumam pelan, suaranya bercampur
antara kebingungan dan kekesalan.

Bab 3 Keluarga Aslinya "Berita tentang kedatangan Nona Linda pasti sudah bocor,"
ucap Jenni dengan wajah polos, suaranya pelan dan penuh rasa ingin tahu.
"Sepertinya Kak Marsha juga ingin belajar dari Nona Linda. Mungkin dia belum
tahu bahwa Kak Marsha telah diusir dari rumah kita. Sepertinya kami berdua akan
menjadi muridnya!" Wajah Puspa terlihat suram saat mendengar kata-kata Jenni.
Dia bergegas maju, tujuannya jelas, untuk mencegat Marsha sebelum gadis itu bisa
membuat koneksi yang berpengaruh. Namun, Marsha sudah bergerak cepat menuju
Ruang Zamrud, ruangan paling eksklusif dan pribadi di hotel itu. Puspa merasa
bingung. Kenapa Marsha pergi ke Ruang Zamrud? Jenni, yang menyusul kemudian,
merasa sama terkejutnya dengan ibunya. "Ibu, ruangan itu tidak terbuka untuk
sembarangan orang. Sepertinya Kak Marsha memiliki koneksi yang lebih dalam dari
yang kita duga. Dia pasti punya banyak teman yang sangat mengesankan."
"Teman-teman seperti apa yang mungkin dia miliki?" Puspa bergumam getir,
pikirannya berpacu dengan asumsi-asumsi yang tidak baik. Rasa jijik sesaat
menguasainya saat dia bergulat dengan pemikiran ini, tetapi hanya ada sedikit
waktu untuk memikirkannya. Dengan perasaan terdesak, Puspa mengeluarkan
ponselnya dan menghubungi Linda. "Mohon maaf, aku sedang menangani masalah yang
mendesak." Suara Linda terdengar lepas dan cepat di telepon sebelum dia segera
mengakhiri panggilan. Kesedihan menyelimuti Jenni, semangatnya anjlok saat dia
menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, sementara air mata menetes di
sela-sela jari-jarinya. Jefri memeluknya dengan erat, suaranya dipenuhi dengan
kelembutan yang meyakinkan. "Jangan khawatir, Jenni. Akan ada lebih banyak
kesempatan. Kita akan menemukan cara lain." Sementara itu, Linda meletakkan
kembali ponselnya di atas bantal di sampingnya. Kakaknya, Galuh, telah mengatur
pertemuan keluarga segera setelah putrinya yang telah lama hilang berhasil
ditemukan. "Kak Marsha pasti telah mengalami banyak kesulitan selama
bertahun-tahun," ucap Kristin Julman, yang duduk dengan anggun di samping Linda.
Dia memiliki fitur wajah yang cantik, riasan wajah yang indah, dan mengenakan
gaun yang mewah. Meskipun dia memproyeksikan citra seorang gadis yang anggun,
ekspresinya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. Linda menanggapi dengan
serius, "Kudengar bahwa keluarga sebelumnya telah memperlakukannya dengan baik.
Dia mungkin tidak menghadapi kesulitan seperti yang kita bayangkan." Jawaban
Kristin penuh dengan keyakinan. "Sangat penting bagi kita untuk memberikan
kehangatan dan dukungan padanya." Linda dengan penuh kasih sayang membelai
kepala Kristin, merasa bangga dengan karakter muridnya yang baik. Kristin
diadopsi oleh Keluarga Julman. Penerimaannya terhadap Marsha menunjukkan
semangat dan kebaikan hatinya. Dia tidak khawatir kembalinya Marsha akan
mengancam statusnya. Di sudut ruangan, Eliani Jumran duduk dengan tenang,
tatapannya tertuju ke pintu, penuh dengan semangat dan harapan. Kristin
menangkap intensitas tatapan Eliani, merasakan kegelisahan darinya. Akhirnya,
pintu terbuka, gadis yang masuk tampak cantik, wajahnya yang dingin dan menawan
cukup mirip dengan wajah Eliani, menegaskan kekerabatan mereka. Kristin
merasakan kehampaan yang tidak dapat dijelaskan saat melihatnya. Eliani, yang
tidak dapat menahan emosinya lebih lama lagi, maju ke depan. "Putriku!" serunya
sambil memeluk Marsha dengan erat, air matanya mengalir deras. Marsha berdiri
sejenak tertegun oleh intensitas sambutan tersebut, tangannya dengan ragu-ragu
menepuk-nepuk punggung Eliani. Kehangatan yang baru ditemukan berkembang di
dalam dirinya, kehangatan sebuah keluarga. Jadi, seperti inilahrasanya memiliki
keluarga yang penuh kasih... "Biarkan Marsha duduk dulu." Suara Galuh terdengar
lembut. Saat mereka duduk di sofa, Eliani memeluk Marsha, berusaha menenangkan
suaranya di tengah air matanya. "Marsha, aku minta maaf karena kami butuh waktu
lama untuk menemukanmu. Kamu pasti sudah mengalami banyak kesulitan." "Aku ...
tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Air mata Eliani, hangat dan tulus, menetes
ke tangan Marsha, membuatnya agak bingung. Tersentuh oleh penampilan yang begitu
tulus, dia dengan lembut meyakinkan Eliani, "Jangan menangis, Ibu. Kita sudah
bersama sekarang." Sebutan "Ibu" tampaknya memicu kegembiraan yang mendalam
dalam diri Eliani, suaranya bergetar saat dia menjawab, "Ya, kamu sudah kembali.
Dan Ibu berjanji untuk menebus semuanya." Galuh mengamati pertukaran itu dengan
senyum cerah, semangatnya terlihat jelas saat dia menatap Marsha. Merasakan
beratnya tatapannya, Marsha menoleh padanya. "Emm ... Ayah." "Kami sangat senang
bisa bertemu kembali denganmu, Marsha-ku." Galuh tersenyum berseri-seri,
wajahnya penuh dengan kebahagiaan yang langka. "Mari aku perkenalkan kamu pada
keluarga kami. Ini adalah Tante Linda." Linda mengamati Marsha, memberikan
anggukan kecil sebagai sapaan. Marsha membalas gestur tersebut dengan sopan dan
hangat. Kemudian, giliran Kristin. Senyum Kristin mengembang saat dia menyapa
Marsha. "Aku telah menunggu begitu lama untuk akhirnya mengatakan ini, aku
memiliki seorang kakak perempuan yang bisa dibanggakan sekarang!" Eliani
menimpali, suaranya diwarnai dengan sedikit keraguan, "Ini Kristin. Ayahnya
adalah teman dekat ayahmu. Kristin kehilangan orang tuanya saat dia masih sangat
muda, dan kami membawanya ke dalam keluarga kami. Jika ini membuatmu tidak
nyaman..." "Tidak apa-apa." Marsha memotongnya dengan lembut, memahami
implikasinya. "Kamu juga punya tiga kakak laki-laki, meskipun mereka tidak ada
di sini sekarang. Kami akan memastikan kamu bertemu dengan mereka nanti!" Eliani
melanjutkan, senyum menghiasi wajahnya saat dia melihat anggukan setuju dari
Marsha. Galuh mengeluarkan ponselnya. "Hidupmu pasti sulit selama ini, Marsha.
Mari kita mulai dengan bertukar nomor," ajaknya. Eliani segera mengikutinya,
mengeluarkan ponselnya sendiri. "Dan bertukar nomor denganku juga," tambahnya
dengan penuh semangat. Setelah Marsha dengan patuh bertukar nomor dengan mereka,
ponselnya berdengung dengan dua pemberitahuan. Ayahnya telah mengiriminya dua
puluh miliar rupiah melalui QRIS, dan ibunya juga melakukan hal yang sama. Galuh
menyeringai, suaranya penuh dengan kemurahan hati. "Ini ada sedikit uang jajan
dari Ibu dan Ayah. Jika kurang, beri tahu Ayah." Kehangatan Eliani tidak goyah.
"Dan aku telah memilihkan beberapa pakaian untukmu. Kamu bisa mencobanya saat
kita pulang nanti!" Gelombang kemurahan hati yang bertubi-tubi ini terasa asing
bagi Marsha, tetapi hal ini menyelimutinya dengan rasa kehangatan yang tidak
pernah dia kenal sebelumnya. Namun di sisi lain, Kristin merasa gelisah
sekaligus terkejut. Galuh dan Eliani baru saja dengan santai mentransfer uang
sebesar empat puluh miliar pada Marsha, jumlah yang jauh melebihi uang saku
bulanannya yang relatif kecil. Apakah ini karena Marsha adalah anak kandung
mereka sementara dia hanya diadopsi?

Bab 4 Kakak Laki-lakinya Sepanjang makan, Eliani dan Galuh bergantian
menumpukkan makanan di piring Marsha sehingga makanan yang menumpuk tinggi
tampak seperti gunung kecil. Pada saat Marsha menghabiskan semuanya, perutnya
sudah kenyang. Itu adalah sebuah bentuk kasih sayang yang baru dan mengharukan,
yang diekspresikan melalui setiap hidangan yang disajikan orang tuanya. Dering
ponsel Galuh yang tiba-tiba membuyarkan suasana. Dia melirik ke arah ID
penelepon dan senyum lebar mengembang di wajahnya. "Marsha, ini salah satu kakak
laki-lakimu yang menelepon, yang termuda di antara mereka. Dia sangat ingin
bertemu denganmu." Dia menerima panggilan video tersebut, dan sebuah suara yang
penuh dengan antusiasme terdengar. "Apakah adik perempuanku sudah ditemukan? Aku
tidak sabar untuk bertemu dengannya!" Galuh melirik Marsha, yang mengangguk
malu-malu, mendorong Galuh untuk mengarahkan telepon ke arahnya. "Ini dia, adik
perempuanmu, Marsha." "Ya, kami jelas bersaudara!" Wajah di layar menyala dengan
seringai nakal. Jantung Marsha berdegup kencang saat dia mengenalinya, Wildan,
bintang film terkenal yang memenangkan banyak penghargaan. Tampaknya, setiap
anggota keluarganya ini bukan orang biasa! "Halo, Kak," ucap Marsha, suaranya
berbisik lembut. Kegembiraan Wildan Julman melonjak melalui telepon. "Marsha,
aku terjebak di lokasi syuting sekarang, jadi aku tidak bisa kembali, tapi aku
akan mengirimkan sesuatu yang istimewa segera!" Kasih sayangnya terlihat jelas.
Meskipun ikatan biologis mereka baru ditemukan, kehangatan Wildan terasa tulus
dan langsung. Wildan dan kakak-kakaknya sudah lama mengharapkan seorang adik
perempuan. Meskipun mereka memiliki Kristin, dia diadopsi oleh orang tua mereka
saat sudah agak besar, dan dia tidak memiliki hubungan darah dengan mereka,
membuat mereka tidak begitu dekat. Wildan kemudian menoleh ke arah pria yang
menyendiri dan mulia di sampingnya. "Tuan Muda Angga, perkenalkan, ini adikku.
Bukankah dia menggemaskan?" Angga Kandaris, yang dikenal sebagai sosok pendiam
dan mengesankan, melirik ke arah layar. Saat dia melihat gadis itu di layar,
pandangannya yang tadinya biasa saja langsung membeku. Rambut panjang Marsha
yang lembut tergerai di bahunya dan fitur wajahnya yang cantik benar-benar
mencerminkan ciri khas Keluarga Julman, yang sangat menawan. Matanya yang
berwarna kuning kecokelatan menunjukkan sedikit kemalasan dan ketidakpedulian,
tampak seakan menenangkan seisi ruangan itu. Sorot mata Angga begitu tajam dan
mendalam. Marsha mempertahankan ketenangannya saat panggilan video berlanjut,
tetapi reaksi Kristin kurang terkendali. Saat mendengar nama "Angga" disebut,
tubuhnya menegang, matanya terpaku pada layar, di mana Angga tampak mencolok
seperti biasanya. Sikapnya yang cuek membuatnya berpikir bahwa pria itu tidak
akan memberikan banyak perhatian untuk Marsha. "Halo." Sapaan Angga singkat,
suaranya pelan. Kristin merasa tidak nyaman, kukunya menancap di telapak
tangannya. Dia meyakinkan dirinya sendiri dalam hati bahwa sapaan Angga tidak
lebih dari sekadar formalitas. Marsha memberikan anggukan sopan sebagai
tanggapan, sikapnya tenang dan tidak banyak bicara. Kemudian, Wildan terus
mengobrol di telepon dengan Marsha sampai Galuh menyela, mengingatkannya untuk
tidak mengganggu Marsha yang sedang makan. Meskipun sang ayah menutup telepon,
Wildan tampak senang, dan kembali ke Angga sambil tersenyum. "Itu adik
perempuanku yang sudah lama hilang. Bukankah dia menggemaskan? Aku harus segera
menyelesaikan urusan di sini dan kembali menemuinya." Dia melemparkan sebuah
ajakan santai ke arah Angga. "Angga, mau ikut denganku?" Dia tahu kemungkinan
ajakannya diterima sangat kecil, Angga biasanya menghindari kunjungan ke
kediaman Keluarga Julman karena Kristin yang terang-terangan menunjukkan kasih
sayang padanya. Sebenarnya sudah ada rencana pernikahan antara Keluarga Julman
dan Keluarga Kandaris, tetapi itu hanyalah kesepakatan lisan yang dibuat oleh
para penatua. Keluarga Kandaris, sebuah keluarga terkemuka dari Anta, berbeda
jauh dari Keluarga Julman di Geno dalam hal status dan pengaruh, sebuah
kesenjangan yang tampaknya diabaikan oleh Kristin ketika dia berpegang teguh
pada gagasan untuk menikah dengan Angga. Angga, dengan tatapannya yang tajam dan
menjaga jarak, menjawab dengan santai, "Baiklah, sudah lama sekali sejak
terakhir kali aku bertemu dengan orang tuamu." Wildan berkedip, terkejut dengan
penerimaan Angga yang tidak terduga. Apakah dia serius?

Bab 5 Si Bodoh yang Sombong Setelah makan, anggota Keluarga Julman berjalan
menuju rumah mereka yang luas, jauh lebih besar dari vila Keluarga Candhika yang
lebih sederhana dalam skala dan kemegahan. Rumah itu memancarkan keanggunan yang
agung, mencerminkan kemegahan layaknya sebuah kastil. Eliani dengan penuh
semangat mengantar Marsha melewati koridor yang luas menuju sebuah kamar yang
telah disiapkan secara khusus. Kamar itu adalah sebuah visi keanggunan feminin,
dihiasi dengan warna-warna lembut dan hiasan yang penuh perhatian, membuat
Marsha terpana dengan suasananya yang terlalu feminin. Dikelilingi oleh tempat
peristirahatan yang memesona dan feminin ini, Eliani menatap Marsha dengan mata
penuh harap dan bertanya dengan lembut, "Marsha, apakah ini sesuai dengan
keinginanmu?" "Ya, aku menyukainya," jawab Marsha, suaranya diwarnai dengan
sedikit rasa tak berdaya. Eliani berseri-seri, meremas tangannya dengan lembut.
"Itu bagus! Jika ada sesuatu yang kamu butuhkan, katakan saja padaku," ucapnya
dengan penuh kegembiraan. "Sekarang, mari aku tunjukkan lemari pakaian yang
dipilihkan oleh ayahmu dan aku untukmu!" Dengan penuh semangat, Eliani membuka
pintu lemari. Mata Marsha terbelalak melihat deretan gaun-gaun indah dan mewah
yang berkilauan di bawah pencahayaan lembut. "Ini baru permulaan. Masih banyak
lagi yang akan tiba besok." Eliani mengumumkan. "Terima kasih, Bu, tapi bukankah
ini terlalu banyak?" Marsha bertanya. Eliani tertawa kecil, menepis
kekhawatirannya. "Oh, tentu tidak! Seorang gadis tidak akan pernah memiliki
terlalu banyak gaun. Sore ini, kita akan pergi berbelanja, jadi kamu bisa
menambahkan apa pun yang kamu suka!" ucapnya sambil tersenyum lebar. Marsha,
meskipun kewalahan, merasakan kehangatan yang mendalam di dalam hatinya. Eliani
berniat untuk menunggu beberapa hari sebelum mengganti nama belakang Marsha.
Namun, Marsha, yang merasakan cinta yang tulus dari Eliani dan Galuh, tidak
melihat ada alasan untuk menunda. Pada sore yang sama, mereka mengunjungi Kantor
Catatan Sipil setempat, di mana Marsha secara resmi mengadopsi nama belakang
Julman, menjadi Marsha Julman. Setelah formalitas hukum selesai, Eliani meremas
tangan Marsha, suaranya penuh dengan kegembiraan. "Sayang, ayo kita berbelanja
dan melihat apa yang menarik perhatianmu." Galuh memperhatikan keduanya dengan
tatapan lembut, ada penyesalan dalam nada bicaranya. "Kalian berdua
bersenang-senanglah. Aku ada pekerjaan sore ini dan tidak bisa ikut. Ini ada dua
puluh miliar, manjakan diri kalian dengan apa pun yang kalian suka."
Menyesuaikan diri dengan gaya hidup orang tuanya yang mewah, Marsha berterima
kasih pada Galuh dan menerima uang itu. Galuh menepuk-nepuk kepala putrinya
dengan penuh kasih sayang, matanya penuh dengan kasih sayang seorang ayah. Mal
Bulan Terang adalah pusat perbelanjaan mewah dengan peringkat teratas di Geno.
Eliani membawa Marsha ke butik Chanel yang mewah, matanya berbinar-binar penuh
kegembiraan saat dia membayangkan Marsha mengenakan setiap pakaian. Dia dengan
cepat memilih beberapa koleksi pakaian. "Sayang, cobalah ini. Jika cocok
untukmu, kita akan mengambil semuanya." Marsha, yang merasa agak kewalahan
tetapi patuh, mengangguk dan mengumpulkan pakaian-pakaian itu. Ketika dia hendak
menuju ke ruang ganti, dia melihat Puspa dan Jenni mendekat. Jenni, yang
jelas-jelas sedang dalam suasana hati yang tidak enak, telah diajak oleh Puspa
untuk menikmati terapi belanja. Keterkejutannya saat melihat Marsha terlihat
jelas. "Marsha?" Dia berseru, suaranya terdengar tidak percaya. Eliani, yang
menoleh ke arah suara itu, langsung mengenali pasangan itu. Dia melunak karena
mengetahui peran penting Keluarga Candhika dalam membesarkan Marsha. Galuh telah
setuju untuk bekerja sama dengan perusahaan Keluarga Candhika atas peran mereka
dalam membesarkan Marsha, dan dia terburu-buru kembali ke perusahaan untuk
bertemu dengan Jefri demi mendiskusikan kerja sama tersebut. Saat Eliani
menyiapkan sambutan hangat, bahkan berencana untuk menanggung biaya belanja
Puspa dan Jenni sebagai bentuk niat baik, nada bicara Jenni berubah tajam.
"Marsha, apa yang kamu lakukan di sini? Ini adalah butik Chanel. Apakah kamu
mampu membeli sesuatu di sini?" Puspa mengamati Marsha dengan bingung, wajahnya
menjadi gelap saat dia mengingat pemandangan yang dia lihat di Hotel Empat Musim
hari itu. "Marsha, kenapa kamu tidak bersama orang tuamu yang miskin?
Barang-barang di sini mewah, dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?
Apakah kamu sudah menemukan seseorang yang memeliharamu?" Marsha, dengan
wajahnya yang memasang topeng dingin, menjawab tanpa sedikit pun kehangatan,
"Urusanku bukan lagi urusan kalian." Pandangan Marsha terhadap Keluarga Candhika
sekarang sudah jelas. Dia telah meningkatkan perusahaan sederhana mereka menjadi
perusahaan publik yang besar, dengan keyakinan bahwa dia telah membayar utang
budi keluarga tersebut karena telah membesarkannya. Namun, Keluarga Candhika
tidak menyadari bantuannya. Ekspresi Eliani berubah menjadi tegas saat dia
menyerap kata-kata kasar Puspa. Keluarga yang dia bayangkan sebagai bagian dari
masa lalu Marsha jauh berbeda dengan kenyataan yang ada di hadapannya. Mereka
memperlakukan Marsha bukan dengan kepedulian kekeluargaan, tetapi dengan
permusuhan. "Maaf, aku dengar wanita muda ini dulunya adalah anak perempuanmu,
tapi kenapa kamu memperlakukannya seperti ini sekarang?" Eliani menyela, tidak
dapat menahan kekecewaannya. Dengan hadirnya para penonton, Puspa mengembuskan
napas dalam-dalam, wajahnya menunjukkan kepasrahan yang menyedihkan. "Memang,
dia pernah menjadi putriku. Tapi aku harus memperingatkanmu, Nyonya, untuk tidak
tertipu oleh penampilannya. Dia telah membuat banyak kebohongan dan bahkan
mencuri uang dari keluarga kami. Dia memalukan!" Dia melanjutkan, suaranya sarat
dengan kesedihan yang pura-pura, "Kekecewaanku sangat besar, membuatku tidak
punya pilihan selain menjauhkannya dari keluarga kami, terlepas dari tahun-tahun
yang kami habiskan untuk membesarkannya." Puspa bertekad untuk menggambarkan
Marsha dalam gambaran yang paling buruk, memastikan bahwa tidak ada wanita kaya
yang akan berpikir baik tentang Marsha, agar tidak ada berita yang menyebar
bahwa dia bersikap terlalu keras terhadap putri palsunya ini. Untuk membuat
kata-katanya lebih meyakinkan, dia bahkan mengusap mata, berpura-pura
mengeluarkan air mata untuk menegaskan keputusasaannya. Puspa secara aktif
sedang menjelek-jelekkan dirinya di hadapan ibunya sendiri. Ekspresi Marsha
menjadi kaku, percikan api berbahaya menyala di tatapannya saat... ...... ====
Marsha terkejut saat mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya.
Karena rencana putri asli, dia diusir dan menjadi bahan tertawaan. Dikira
terlahir dari keluarga petani, Marsha terkejut saat mengetahui bahwa ayah
kandungnya adalah orang terkaya di kota, dan saudara laki-lakinya adalah tokoh
terkenal di bidangnya masing-masing. Mereka menghujaninya dengan cinta, hanya
untuk mengetahui bahwa Marsha memiliki bisnis yang berkembang pesat... Apa yang
akan terjadi selanjutnya? Hanya ada sejumlah bab di sini, klik tombol di bawah
ini untuk menginstal Aplikasi dan melanjutkan membaca bab yang lebih menarik
(Secara otomatis melompat ke buku ini saat Anda membuka aplikasi) &2&

đź“šMULAI MEMBACAđź“š
ndaction:readonline(bookid=19916414&traceid=20241105190600-7a2855378152460584d5e68db6d79c09&pixelid=676628103324384&adid=%7B%7Bad.id%7D%7D&pageid=11950160&chapterindex=0)